Nandur Dulur #1: Mak Jamu yang Tak Lagi Menjajakan Jamu
Hidup berdampingan dengan orang asing tampaknya bukan hal yang mudah dijalani bagi sebagian orang. Terkadang, rasa takut menghalangi kita untuk mengenal jaringan di luar zona nyaman. Padahal, bisa saja jaringan tersebut justru memudahkan kita dalam banyak hal. Mungkin seperti itulah gambaran kali pertama kami berada di Dieng. Tempat yang asing sekaligus familier ini memaksa kami memperluas zona nyaman agar dapat lebih mengenal tanah kelahiran.
Kami menyebutnya nandur dulur. Sebuah paduan kosakata dari bahasa Jawa yang berarti menanam persaudaraan. Kemudian, kami praktikkan sehari-hari dengan menjalin komunikasi dengan warga sekitar. Perjalanan ini mempertemukan kami dengan Mak Jamu. Beliau adalah penduduk Wonosobo yang menjadi langganan teman-teman Tani Jiwo untuk berbelanja. Beliau senang sekali ngobrol dan berbagi banyak cerita. Lucunya, kami menemukan beberapa fakta unik tentangnya yang jarang diketahui banyak orang.
Panggilan ‘Mak Jamu’
Ia bernama asli Slamet. Namun, panggilan itu disematkan pada dirinya yang dahulu pernah berjualan jamu. Menjajakan jamu keliling di sekitar Dieng semenjak era 80-an, ia jarang menyebutkan nama aslinya hingga membuat pelanggan memanggilnya dengan sebutan itu. Istilah mak dalam bahasa Jawa adalah kependekan dari emak, yang berarti ibu. Penggunaan sebutan mak di Dieng menjadi hal lumrah untuk menghormati perempuan-perempuan yang berusia lebih tua. Panggilan tersebut juga disematkan secara khusus bagi perempuan yang beraktivitas lebih feminis, seperti berjualan makanan dan bahan-bahannya, penjaja camilan dan minuman tradisional, jasa gendong di pasar, dan bertani. Panggilan ini juga menjadi jembatan yang mendekatkan hubungan penjual ke pelanggannya, lho. Rasanya jadi lebih akrab dan hangat, seperti sedang berbicara dengan ibu sendiri.
Berpindah tempat
Memiliki ruang berjualan di pinggir jalan bukan berarti sebuah kenyamanan bagi Mak Jamu. Bertempat di dekat kantor Polsek Dieng, warungnya kerap kali tertutup oleh kendaraan yang parkir di pinggir jalan. Ole karenanya, akses masuk pun tak tampak dan menjauhkan pelanggan yang mencarinya. Gayung bersambut, di tahun 2022, ia mendapatkan lokasi baru di sebuah gang dekat BPR Surya Yudha. Tempatnya terbilang lebih luas dan lebih terlihat untuk pelanggan yang berkunjung. Di tempat baru ini, ia bisa menyajikan lebih banyak sayur dan buah segar dibanding sebelumnya. Bahkan, ia pun mengakui di tempat baru ini membuatnya lebih dekat dengan pelanggan yang rata-rata bertempat tinggal di lokasi yang sama.
Mengenal tiga generasi sopir bus langganan
Mak Jamu adalah penjual sayur yang sama seperti penjual lainnya. Ia membutuhkan bantuan supir kendaraan umum untuk mengantarkan barang dari Wonosobo sampai ke Dieng. Sejak ia berjualan jamu, sudah banyak sopir bus yang mengenalnya. Ia bahkan mengenal keluarga dari sopir bis langganannya. Beberapa di antaranya mengaku, mereka mengenal Mak Jamu dari zaman bapak dan kakek masih menyopir. Ikatan yang asing, kemudian, berubah menjadi ikatan keluarga, sehingga memudahkan Mak Jamu mendapatkan bantuan untuk terus berjualan di Dieng.
Buka di waktu yang tidak biasa
Jika penjual sayur lain sudah buka sejak jam 6 pagi, tidak begitu dengan Mak Jamu. Jarak rumah dan lokasi berjualan yang tidak dekat serta kewajibannya sebagai seorang ibu di rumah, membuatnya baru bisa berjualan mulai pukul 9 pagi. Suhu Dieng yang masih sangat dingin di pagi hari membawa keuntungan tersendiri baginya. Karena, banyak pelanggan yang memilih berbelanja ketika hari sudah hampir siang. Tentu, mereka akan segera bergegas ke warung Mak Jamu dan mendapatkan sayur serta buah pilihan. Sejak ia pertama kali berjualan sayur, ia selalu berharap dapat membuka warungnya hingga petang. Tapi, harapan itu sering dipupuskan pelanggan yang menghabiskan jualannya ketika sore belum menjelang. Sering kali, jualannya sudah mulai menipis kala jam makan siang. Baginya, itu adalah sebuah alarm karena sedikit lagi waktunya untuk pulang.
Berjualan gorengan
Selain berjualan sayur dan buah segar, Mak Jamu juga menjajakan gorengan. Ada tempe kemul, tahu goreng, pisang goreng, dan sebagainya. Camilan khas Indonesia ini bagai tak memiliki waktu khusus untuk disantap. Sejak dibukanya warung hingga menjelang tutup di sore hari, tak sedikit pelanggan yang berkunjung mencari gorengan buatan Mak Jamu. Dalam sehari, ia mampu menjual hingga puluhan buah. Bahkan, tak jarang pula pelanggan yang datang akan menyantap gorengan di tempat kala antre membeli. Gorengan memang menjadi camilan yang universal di Dieng. Apalagi dengan suhu dingin Dieng, gorengan menjadi primadona camilan untuk menghangatkan badan.
Mengenal Dieng sejak masih sepi
Dieng bagi Mak Jamu adalah rumah kedua yang tak dapat ia lepaskan. Kedatangannya pertama ke sini hingga sekarang membuatnya istimewa, karena dapat melihat banyak perubahan yang terjadi. Kala ia pertama kali menjejakkan kaki di Dieng, belum ada wisata seramai sekarang. Akses menuju Dieng pun sangat sulit karena jalanan belum diaspal. Kendaraan umum yang melintas juga terbatas. Beberapa waktu, ia harus berjalan kaki untuk sampai ke sini. Kemudian, beberapa pemangku kebijakan mulai sering datang ke wilayah ini dan membangun akses jalan. Lalu, dibarengi juga dengan kendaraan umum yang melintasi wilayah Dieng. Meskipun semakin mudah, kadang Mak Jamu juga merasa lelah dengan keramaian yang ada di sini. Akan tetapi, ini tak membuatnya patah arang untuk tetap menyesuaikan perubahan zaman di usianya yang sudah tiga perempat abad.
Nah, itu tadi beberapa fakta menarik tentang Mak Jamu. Beliau mengajarkan pada kami bagaimana menjalin hubungan persaudaraan sekalipun dengan orang yang begitu asing. Bagi Mak Jamu, jalinan silaturahmi ini akan memberikan banyak kemudahan di kemudian hari. Kalau datang ke sini jangan lupa mampir ke lapak beliau, tanya-tanya sedikit soal Dieng zaman dahulu, sambil menunggu tempe kemul hangat diangkat dari penggorengan! Sedaaap!