Nandur Dulur #4: Kolaborasi Dagang A La Mak Niyem & Mak Sisri

Pariwisata dan pertanian memang berjalan beriringan di Dieng. Dua tonggak hidup sebagian besar masyarakat Dieng ini membuat hampir setiap orang memiliki lebih dari satu mata pencaharian. Uniknya, setiap mata pencaharian bisa dilakukan tanpa mengganggu satu sama lain. Lantas, keserasian itu membawa saudara-saudara baru yang ditemui selama perjalanan.

Kami menyebutnya nandur dulur. Sebuah paduan kosa kata dari bahasa Jawa yang berarti menanam persaudaraan. Kemudian, kami praktikkan sehari-hari dengan menjalin komunikasi dengan warga sekitar. Perjalanan ini membawa kami bertemu dengan Mak Niyem dan Mak Sisri, dua wanita penjual jajanan yang berdampingan dan saling melengkapi satu sama lain.

Rasanya, persaingan antarwarung yang memiliki dagangan serupa itu wajar. Takjarang, di beberapa daerah, persaingan itu jadi sengit dan justru menjatuhkan satu sama lain. Seolah tidak ingin berbagi pelanggan dan muncul rasa serakah hingga lupa berbagi dengan sesamanya. Keadaan tersebut berbeda jauh dengan kedua wanita ini. Mereka seolah tidak mengenal istilah bersaing dalam usaha mengepulkan asap dapurnya. Padahal, barang dagang Mak Niyem dan Mak Sisri benar-benar serupa.

Kami lebih dahulu mengenal Mak Niyem. Ia tinggal dekat dengan Tani Jiwo dan berdagang tepat di seberang Tani Jiwo juga. Sehari-hari, ia akan membuka warungnya jam 6 pagi. Dibantu suaminya, Mak Niyem menjajakan gorengan, aneka jajan kemasan, nasi sayur dengan menu lebih kurang 3 jenis, aneka minuman, rokok, hingga kebutuhan lain, seperti tisu dan lem. Suaminya, yang berprofesi sebagai petani kentang, tidak selalu ke ladang sehingga bisa membantu Mak Niyem berjualan. Mereka memanfaatkan salah satu sisi Terminal Aswatama menjadi warung yang dibangun bergotong royong dengan pedagang lainnya. Secara bangunan, memang tampak seperti warung nonpermanen. Namun, mereka sudah bertahan di tempat ini sejak lebih kurang 7 tahun silam. Ini sengaja dilakukan karena beberapa kali mereka harus memindahkan warung agar tidak mengganggu aktivitas wisatawan di sekitar situ.

Di hari-hari tertentu, Mak Niyem dan suaminya tidak berjualan. Terlebih ketika masa panen kentang tiba. Mereka akan mencurahkan tenaganya untuk memilah dan mengirim kentang hasil panennya hingga beberapa hari. Kala wisatawan sedang banyak-banyaknya datang ke Dieng pun, mereka akan menyewakan perlengkapan tidur untuk beberapa penginapan di sekitar rumahnya. Bisa dikatakan, mereka melakukan apapun untuk mendapatkan penghasilan dari wisata dan pertanian di Dieng.

Meskipun sang anak bekerja di sebuah perusahaan panas bumi di Dieng, Mak Niyem dan suaminya tidak mau menggantungkan hidup pada anak. Bagi mereka, pamali untuk melakukan hal seperti itu. Seolah mereka terlalu ‘lumpuh’ untuk berusaha sendiri tanpa merepotkan sang anak. Toh, sang anak sudah memiliki keluarga kecil yang perlu diprioritaskan. Takjarang, kami bertemu dengan anak Mak Niyem kala berkunjung ke warungnya.

Ketika menyambangi warung Mak Niyem, kami dikenalkan oleh teman berjualannya, Mak Sisri.

“Sri! Gawekna teh nggo kiye. Loro,” ujar Mak Niyem, yang berarti “Sri! Buatkan teh untuk dua (pengunjung) ini!”

Kalimat yang tidak jarang kami dengar dari mulut Mak Niyem. Mak Sisri juga berjualan produk serupa dengan Mak Niyem. Hanya saja, ia tak menyediakan nasi dan lauk. Berjualan tepat di samping warung Mak Niyem, Mak Sisri lebih memilih mengatur barang dagangannya di sebuah gerobak. Ia dan Mak Niyem bersama-sama mengatur area pengunjung di antara kedua warung. Dengan penataan seperti ini, memudahkan kedua warung tersebut memantau alur pengunjung yang datang.

Mak Sisri juga salah satu warga Dieng yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumah Mak Niyem. Ia lebih tertutup soal keluarganya. Beberapa kali, ia menceritakan anaknya yang bekerja di luar Dieng dan sudah membina keluarga kecil jauh dari orang tua. Ia menikmati hari-harinya berjualan karena sering merasa tidak tahu harus melakukan apa di rumah. Jika berjualan, ia bisa bertemu dengan banyak teman-teman dan berkenalan dengan orang baru. Menurutnya, ia pun bisa berwisata dari cerita-cerita yang dibagikan oleh para wisatawan yang berkunjung. Karena alasan tersebut, ia pun akan memoles dirinya secantik mungkin agar terlihat siap menyambut pengunjung yang datang.

Selain berjualan, ia pun akan menyewakan rumah dan beberapa kasur yang ia miliki kala jumlah wisatawan Dieng meningkat. Beberapa penginapan di sekitar rumahnya sudah menjadi langganan. Bahkan, ia sudah menerima pesanan jauh-jauh hari sebelum peningkatan jumlah wisatawan terjadi. Takjarang, penginapan-penginapan tersebut juga memintanya menyediakan sarapan dalam jumlah besar. Jika sudah begini, ia pun akan libur berjualan dahulu untuk beberapa hari.

“Masak besar itu melelahkan, lo,” ujar Mak Sisri menceritakan pengalamannya menerima pesanan sarapan untuk wisatawan kala Dieng Culture Festival berlangsung tahun lalu. Menyediakan menu sarapan untuk lebih dari 200 orang di jam 7 pagi, siapa yang tidak lelah? Itu pun, ia sanggup melakukan sendiri!

Mak Sisri gigih melakukan apapun agar tetap dapat melanjutkan hidupnya. Begitu juga dengan Mak Niyem. Keduanya menyadari hidup mereka berdampingan bersama banyak orang di Dieng. Sekali pun memiliki barang dagang dan lokasi jualan yang sama, tak membuat mereka bersaing sengit. Bahkan, keduanya dapat saling mendukung jualan masing-masing dalam kekeluargaan yang dibentuk di Terminal Aswatama. Ini meyakinkan kami bahwa suasana persaudaraan masih hangat di Dieng untuk disebarkan pada siapa pun.

Jika kamu berkesempatan ke Dieng, mampir, ya, ke warung mereka berdua yang terletak tepat di seberang hostel kami. Sambil menikmati tempe kemul buatan Mak Niyem dan teh racikan Mak Sisri, kamu juga bisa ngobrol dengan mereka dan tanya-tanya soal Dieng. Kami tunggu kedatanganmu, dulur!

Penulis: Yosi Basuki

Booking on :