Bisa jadi, budaya minum kopi sudah berpuluh-puluh tahun ada di Indonesia. Tanaman biji-bijian ini diyakini berasal dari Ethiopia dan Yaman. Namun, di Indonesia sendiri, tanaman kopi pertama kali ada karena dibawa oleh bangsa Belanda dan dibudidayakan sebagai salah satu produk dagang. Biji kopi dijual kepada para bangsawan dan diekspor hingga memperoleh kepopulerannya di tahun 1706. Jauh sekitar 2 abad berikutnya, mulailah dikenalkan biji kopi robusta yang pertama kali ditanam di Jawa Timur. Perkembangan tanaman kopi di Indonesia sejak saat itu makin jaya. Terbukti di tahun 2000-an, Indonesia adalah penghasil biji kopi terbesar di dunia selain Brazil, Vietnam, dan Kolombia.
Sejalan dengan perkembangan itu, kedai-kedai kopi yang menawarkan racikan fine kopi mulai bermunculan. Budaya minum kopi semakin dikenal oleh masyarakat. Minum kopi di sebuah kedai menjadi kebanggaan tersendiri. Hingga, kultur ini diangkat dalam sebuah film besutan sutradara Angga Dwimas Sasongko.
Di Wonosobo sendiri, kedai yang menyajikan racikan fine kopi baru ada pada tahun 2015, bernama De Koffie. Meskipun begitu, empat tahun sebelumnya, wilayah Bowongso mulai mengenalkan biji kopi andalannya bersama koperasi Bina Sejahtera di bawah arahan Sriyono Edi atau yang akrab dipanggil Pak Eed. Setelah kemunculan De Koffie, mulailah beberapa kedai kopi dengan skala yang bervariasi bermunculan hingga kini. Adanya kedai-kedai ini memudahkan para konsumen kopi mendapatkan racikan terbaik dengan variasi rasa khas tiap jenis bijinya.
Kami pun adalah salah satu penikmat racikan fine kopi yang ditawarkan oleh kedai-kedai di Wonosobo. Pergolakan kedai kopi di Dieng membuat kami lebih sering mencari asupan kafein meskipun harus menempuh satu jam perjalanan ke Wonosobo. Atmosfer pertemanan yang terbangun dari kedai-kedai kopi di sini justru membawa kami kembali ke Dieng dan bertemu dengan Yudha.
Kami menyebutnya nandur dulur. Sebuah paduan kosakata dari bahasa Jawa yang berarti menanam persaudaraan. Kemudian, kami praktikkan sehari-hari dengan menjalin komunikasi dengan warga sekitar. Kiranya, begitulah jalinan kami dengan Yudha. Dia adalah barista yang berkeliling Dieng dan meracik kopi dari bar portable yang ia namai Tongkat Musa.
Tongkat musa adalah jenama yang digunakan Yudha untuk berjualan kopi keliling di sekitar Dieng menggunakan motor kesayangannya. Baru bergerak pada awal tahun 2022 ini, Yudha kerap menemui pelanggannya di dekat monumen Dieng Wonosobo.
“Di mana kaki dipijak, di situ kopi diseduh,” ucap Yudha terkait penamaan yang ia pakai untuk berjualan kopi. Melihat fenomena dan permintaan pasar terhadap racikan fine kopi yang ditemuinya, Yudha yakin untuk mengenalkan variasi biji kopi daerah dengan berkeliling menghampiri pelanggannya.
Sebelumnya, Yudha hanya seorang karyawan biasa yang menghabiskan waktu di luar jam kerjanya untuk mencicipi kopi di beberapa kedai di sekitar tempat kerja. Pada masa sekarang, kita mengenalnya dengan istilah cafe hopping. Sebuah kebiasaan seseorang berpindah-pindah kedai kopi untuk menikmati racikan kopi khas setiap tempat. Pria asal Desa Bakal, Banjarnegara ini hanya salah satu konsumen kopi awalnya. Perjalanan tersebut membawanya tergabung dalam sebuah komunitas kopi di kotanya dan memberikan pelajaran lebih mendalam tentang kopi.
Perjalanannya bersama komunitas kopi ini membuka wawasan Yudha tentang ragam jenis biji kopi yang ada di dekat kampung halamannya. Hal ini diperkuat oleh salah satu teman kami yang juga memiliki kedai kopi di Wonosobo, yaitu Dani Bule.
“Sebenarnya, tidak ada ketinggian ideal untuk tanaman kopi. Yang ada adalah suhu ideal, yaitu 18–21ºC. Di wilayah Wonosobo dan Banjarnegara ini, suhu tersebut berada di ketinggian 1.500-1.900 mdpl. Di atas suhu tersebut, tanaman kopi tetap hidup, tapi tidak tumbuh maksimal dan tidak berbuah. Umumnya, digunakan untuk pembatas kebun.” Ujar Dani Bule.
Dari dua kabupaten yang berhimpitan ini saja, ada sekitar 19 kecamatan yang memiliki kebun kopi, baik kopi arabika maupun robusta. Enam wilayah di antaranya berada di kaki gunung Dieng dengan ketinggian 1.400-1.900 mdpl. Ini berbeda dengan tanaman kopi yang dikembangkan di Bowongso–dapat bertumbuh maksimal hanya di ketinggian 1.500 mdpl. Wilayah Desa Dieng hingga Kecamatan Batur yang berada di kisaran 20.00 mdpl ini memiliki rentang suhu yang terbilang ekstrem, yakni 9–20ºC, sehingga membuat tanaman kopi tidak dapat berbuah.
Berbekal pengetahuan ini dan kegemarannya pada kopi, Yudha memantapkan diri untuk mengenalkan racikan fine kopi dengan mendatangi pelanggan di jalan. Dengan motor kesayangan yang diberi bar portable, Yudha menjajakan kopi dengan harga yang ramah di kantong. Baginya, penikmat racikan fine kopi tidak harus dengan mendatangi kafe atau kedai kopi ternama. Kemudahan akses yang terjadi di era ini juga menjadi alasannya berani berjualan kopi di jalanan.
Yang dilakukan Yudha bukanlah hal baru. Sebelumnya, ada fenomena starling ‘starbucks keliling’ yang sudah merebak di kota-kota besar. Penjual starling umumnya berasal dari kelas ekonomi bawah dengan rentang usia tua. Semakin modern, anak muda pun tergerak mencoba peruntungan ini. Fenomena ini kemudian lebih dikenal dengan sebutan kopi keliling atau koling. Berbeda dengan starling, koling lebih banyak menjual racikan fine kopi dengan harga yang lebih rendah dari kedai-kedai sekitar.
Tentu, harga kopi yang dijual pedagang koling ini lebih rendah dari kedai karena tidak perlu memasukkan biaya tenaga kerja dan biaya sewa tempat. Ditambah lagi, kini pelaku usaha kopi dapat langsung memperoleh biji kopi dari petaninya. Oleh karena itu, harganya pun bisa lebih rendah dari pasar. Meskipun kini makin banyak kedai kopi dan pelaku koling di jalanan, rasanya bukan sebuah alasan untuk menggeser peran pengepul biji kopi.
“Justru, keberadaan pengepul itu penting dan tidak dapat digantikan. Pemilik kedai kopi dan penjual koling sepertinya tidak mungkin menyerap jumlah biji yang berton-ton. Sedangkan, hasil panen kopi di Indonesia saja hasilnya tinggi. Siapa yang akan menyerap dan mendistribusikan itu jika bukan pengepul?” Jelas Dani Bule kala ditemui di kedainya.
Bahkan, menurut Dani, penjual koling seperti Yudha, akan memperpanjang umur bisnis ini. Dari yang dilakukan Yudha saja, penjual koling dapat menjangkau konsumen kopi yang tidak bisa diraih oleh pemilik kedai. Dengan begitu, akan makin banyak penikmat racikan fine kopi dan dapat mengubah kebiasaan kopi yang lebih sehat.
Ah, beruntung rasanya bisa bertemu Yudha di Dieng. Urusan asupan kafein kami tidak perlu jauh-jauh lagi. Kamu juga bisa merasakan racikan kopi buatan Yudha kala ke Dieng. Sembari menghangatkan badan, dapat cerita menarik pula!