Nandur Dulur #10: Dhimas, Mengenalkan Sejarah Dieng dengan Wastra

Sejak tahun 2009, 2 Oktober disepakati sebagai Hari Batik Nasional. Hal ini diperkuat dengan Keputusan Presiden No.33 tahun 2009 yang dibentuk setelah pengukuhan dari Komite Antar Pemerintah tentang Warisan Budaya Nonbendawi yang diselenggarakan di Abu Dhabi pada 2 Oktober 2009.

Melalui Keppres ini, diharapkan seluruh masyarakat Indonesia bisa lebih mencintai dan mengingat warisan budayanya sendiri, hingga menerapkan kain tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Menariknya, batik menjadi seragam wajib yang harus dikenakan oleh pegawai pemerintahan dan murid sekolah pada hari-hari tertentu.

Selain penggunaan batik sebagai seragam kerja dan sekolah, dunia fesyen juga memperkenalkan tren batik untuk gaya kasual. Sebab itu, pamor batik kini makin dekat dengan generasi muda.

Belum lama ini, penggunaan batik oleh generasi muda lebih dikenal dengan sebutan berkain atau berwastra. Berwastra mengacu pada paduan baju kasual atau formal dengan kain batik yang dililit. Selain digunakan kala kondangan, ada segelintir anak muda yang menggunakan kain batik untuk sekadar nongkrong bersama teman-temannya. Lalu, mereka akan mengabadikan momen berkain itu dan mengunggahnya di media sosial pribadi. Tren ini, kemudian, menyebar luas hingga mancanegara melalui algoritma media sosial yang meluas.

Jauh sebelum tren ini muncul, kain batik adalah produk fesyen yang dimiliki setiap lapisan masyarakat. Strata sosial sebuah kelas masyarakat dan penggunaannya ditentukan dari motif-motif batik yang ada. Seperti motif truntum yang digunakan saat acara pernikahan, motif kawung digunakan saat kelahiran dan segala prosesi menyambut kelahiran bayi, atau motif sogan yang hanya digunakan oleh kaum raja-raja. Batik yang berkembang di area keraton lama-kelamaan mulai digunakan oleh masyarakat umum. Khusus untuk motif kawung dan parang hanya dapat digunakan oleh raja dan keluarga serta para bangsawan. Di luar motif ini dapat digunakan oleh masyarakat umum dalam berbagai aktivitasnya.

Pada abad 19 hingga 20, pejabat pribumi sekitar Wonosobo juga menggunakan batik motif parang dan kawung. Motif adaptasi dari Keraton Yogyakarta ini menunjukkan kelas sosialnya yang lebih tinggi dan menggambarkan kondisi geografis yang berada di lereng gunung. Kedua motif ini juga digunakan oleh keluarga pejabat dan kaum bangsawan lainnya. Pada masa ini, masyarakat kelas bawah, khususnya para ibu dan remaja putri, melakukan kegiatan membatik untuk menyuplai kebutuhan kain batik di masyarakat. Beberapa di antaranya adalah masyarakat yang berasal dari Dataran Tinggi Dieng. 

Penggunaan batik di Dieng pun berkembang pada masa itu. Kain batik menjadi barang wajib bagi masyarakat Dieng untuk menghalau suhu dingin. Seperti masyarakat pada umumnya di Wonosobo, masyarakat Dieng juga menggunakan batik dengan motif di luar parang dan kawung. Seiring perkembangan zaman, motif batik khas daerah Wonosobo dan Banjarnegara mulai dikembangkan dengan mengambil beberapa ciri khas dari dua kabupaten tersebut. Perkembangan motif batik khas Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara ini membawa kami bertemu dengan seorang tour guide yang selalu menggunakan batik kala memandu wisatawan.

Kami menyebutnya nandur dulur. Sebuah paduan kosa kata dari bahasa Jawa yang berarti menanam persaudaraan. Kemudian, kami praktikkan sehari-hari dengan menjalin komunikasi dengan warga sekitar. Perjalanan ini membawa kami bertemu dengan Dhimas, seorang tour guide muda yang menggunakan batik untuk kegiatan memandu wisata.

Lelaki yang berasal dari Klampok, Kabupaten Banjarnegara ini bisa dibilang adalah guide termuda yang pernah kami temui di tahun 2019 lalu. Ia menemukan ketertarikan pada batik kala melakukan perjalanan studi bersama Pak Aryadi Darwanto, seorang pegawai Dinas Pariwisata Kabupaten Banjarnegara. Sejak saat itu, Dhimas memutuskan untuk selalu menggunakan batik kala memandu wisata sebagai bentuk perkenalan tentang ragam budaya Banjarnegara.

Berangkat dari latar belakang seorang finalis duta wisata Kabupaten Banjarnegara pada tahun 2018, Dhimas banyak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan wisata sejak saat itu. Sebelum berkunjung ke sebuah wilayah bersama kelompok finalis duta wisata lainnya, Dhimas akan membekali diri dengan informasi-informasi terkait wilayah yang akan dikunjungi. Lalu, setelah kunjungan, ia akan mencatat beberapa temuannya. Oleh karena kebiasaannya ini, pengetahuan Dhimas tentang sejarah cukup luas.

Kemudian, ia diajak Pak Aryadi untuk memperdalam sejarah Dieng dan menginformasikannya pada wisatawan. Perjalanannya mempelajari sejarah Dieng tersebut membuatnya makin jatuh cinta pada batik. Sekitar tahun 2019, Dhimas akhirnya memutuskan untuk menggunakan batik saat memandu wisata. Kiranya sejak saat itu juga, tren berkain batik mulai muncul lagi di Dieng.

Selama memandu, wisatawan selalu dibuat terkesima oleh pengetahuan yang dimiliki oleh Dhimas. Penjelasannya yang runtut dan mudah dipahami membuatnya kerap dicari oleh wisatawan, yang bahkan belum pernah bertemu dengan Dhimas sekalipun. Selain itu, di usianya yang baru saja menginjak 20 tahun ini, Dimas sudah sering menjadi narasumber di berbagai lini diskusi.

Setahun sejak keputusan Dhimas memandu menggunakan batik, ia bergabung dengan Dieng Travel dan memandu wisatawan lebih intens di Dieng. Banyak wisatawan yang dibuat takjub, karena Dhimas bahkan memandu wisata hingga naik turun gunung pun tetap menggunakan batik kesayangannya.

Sifatnya yang mudah beradaptasi di lingkungan manapun, membuat Dhimas cepat dekat dengan wisatawan dan masyarakat Dieng. Tidak sedikit ibu-ibu di Dieng yang menjadikan Dhimas sebagai anak angkatnya. Tidak sedikit pula para wisatawan yang menjadikan Dhimas sebagai bagian dari keluarga. Meskipun ia bukan warga asli Dieng, tetapi pengetahuan dan relasinya sudah menyerupai masyarakat asli Dieng. Masyarakat pun mudah mengenali Dhimas karena kebiasaannya menggunakan kain batik. Taksedikit pula wisatawan yang mengasumsikan Dhimas sebagai ikon Dieng karena kebiasaannya tersebut.

Tentu saja, kamu juga bisa berkenalan langsung dengan Dhimas kala berkunjung ke Dieng. Tanyakan saja padanya tentang Dieng dan sejarahnya, Dhimas akan menceritakan dengan detail setiap perkembangan yang terjadi di wilayah ini. Jangan lupa, sembari menyimak cerita Dhimas, hangatkan badan dengan kain batik! Ah, nyamannya!

Penulis: Yosi Basuki

Booking on :