Kentang Dieng, Peninggalan Belanda yang Melahirkan Sarjana

Kentang adalah sumber karbohidrat selain nasi yang mulai masuk Indonesia atas campur tangan bangsa Belanda pada tahun 1794. Mulanya, tanaman ini dibudidayakan di Cimahi oleh Belanda. Dikarenakan hasil yang memuaskan, pemerintah Belanda memperluas lahan penanamannya hingga ke wilayah Priangan dan Gunung Tengger. Lalu, pada tahun 1812, tanaman kentang mulai dibudidayakan di Kedu. Pada masa ini, kentang menjadi varian baru yang memperkaya hasil panen petani dan mulai banyak dikonsumsi oleh masyarakat.

Kemudian, meletusnya Gunung Galunggung di Jawa Barat pada tahun 1980 membuat para petani terpaksa memindahkan lahannya ke tempat yang baru. Para petani kentang berpindah ke arah timur, menjauh dari area gunung api itu. Kala itulah, tanaman kentang mulai masuk Dieng. Pada tahun tersebut, pariwisata dan pemukiman warga di sekitar Dataran Tinggi Dieng belum sepadat saat ini. Warga yang tinggal di sekitar kawasan Dieng pun masih leluasa menanam tanaman kentang yang mendapat nutrisi banyak dari tanah.

Seiring berjalannya waktu, kentang hasil panen dari dataran ini mendapatkan pamornya karena kualitas yang sangat baik. Berhasil menggeser pamor tembakau, kentang Dieng yang masa tanamnya singkat lebih banyak menghasilkan rupiah. Ini memancing tiga hal sekaligus: perluasan lahan kentang, pertambahan penduduk, dan ramainya pariwisata.

Oleh karena itu, taksedikit petani yang tergiur dan banting setir untuk menanam kentang. Dataran Tinggi Dieng yang mencakup wilayah enam kabupaten sekaligus, yakni Banjarnegara, Batang, Kendal, Pekalongan, Temanggung, dan Wonosobo, hampir setiap tahunnya membuka lahan baru untuk ditanami dengan kentang. Pada saat yang hampir bersamaan ini, bangunan-bangunan rumah dan penginapan baru juga didirikan, memadati kawasan pemukiman sekitar.

Infrastruktur yang juga berkembang membuat penyebaran pasar kentang di Dieng meluas.Kentang Dieng tidak hanya dijual di pasar sekitar Wonosobo dan Banjarnegara. Beberapa pasar di luar dua kabupaten ini juga mulai menjual kentang Dieng dalam jumlah terbatas dengan harga tinggi. Kentang Dieng pun tidak hanya dijual di pasar. Mayoritas toko oleh-oleh juga memasukkan kentang sebagai salah satu barang dagangannya. Permintaan pasar yang tinggi ini membuat produsen pupuk kimia mendapatkan celah untuk masuk ke Dieng dan membuat kentang Dieng lebih cepat dipanen.

Banyak wisatawan Dieng yang mencari kentang sebagai oleh-oleh. Ini karena karakter kentang Dieng yang lebih pulen dibanding kentang dari tempat lain. Selain itu, pertumbuhan kentang Dieng di lahan berketinggian 1.600 mdpl ke atas membuatnya tahan di suhu ruang hingga berbulan-bulan. Takheran, kentang Dieng menjadi primadona yang paling dicari.

Karena hal itu pula, penjualan kentang Dieng yang tinggi hingga ke luar kota membuat para petaninya meraup untung yang besar. Dari hal tersebut, para petani dapat menyekolahkan anak-anaknya hingga jenjang pendidikan yang tinggi. Ada perumpamaan “sarjana kentang” bagi anak-anak petani yang berhasil menyelesaikan pendidikan hingga tingkat sarjana. Ini adalah istilah yang kemudian melekat pada pemuda-pemudi Dieng.

Meski begitu, tidak semua pemuda-pemudinya kembali ke tanah kelahiran dan menjadi petani kentang. Tidak sedikit dari mereka yang memilih bekerja di luar kota atau mendirikan penginapan di tanah warisannya. Para anak petani ini pun tetap mendapat warisan lahan kentang yang penjualan hasil panennya juga dirasakan. Sedikit di antaranya seolah tutup mata terhadap pertanian yang membuatnya berhasil melampaui tingkat pendidikan tinggi. Akibatnya, regenerasi petani di Dieng bisa terbilang lambat.

Selain itu, beberapa tahun terakhir, kualitas kentang Dieng sudah menurun akibat penggunaan pupuk yang berlebih. Zat hara dalam tanah semakin jauh dijangkau, membuat petani kentang harus mengeruk tanah lebih dalam menggunakan eskavator. Hal tersebut tidak dibarengi dengan kesadaran petani untuk memperbaiki gizi dalam tanahnya. Sehingga, penjualan kentang Dieng terbilang menurun sejak masa kejayaannya pada awal tahun 2000-an lalu. Sedikit petani yang menyadari tentang perbaikan kualitas tanah, terbungkam oleh ‘mafia’ tani di sekitarnya. Petani yang berusaha memperbaiki kualitas tanah dianggap sebagai petani jahat, karakter petani yang harus ‘dibasmi’ oleh petani lainnya. Belum lagi, terdapat kebanggaan tersendiri di antara petani yang dapat menghabiskan berjuta-juta harga obat kimia untuk tanamannya. Pada saat yang bersamaan, petani kentang di Dieng saat ini seolah sedang mempertaruhkan hal yang tidak pasti. Bagaimana tidak? Kurangnya gizi tanaman dalam tanah dan cuaca yang tidak menentu membuat hasil panen berkurang drastis. Sebanding juga dengan harganya yang menurun, maka tidak banyak rupiah yang dapat dikumpulkan oleh petani.

Memang tidak bisa dipungkiri, hasil panen kentang Dieng dapat mengantarkan mayoritas pemuda pemudi Dieng ke jenjang pendidikan tinggi, di kampus-kampus terbaik se-Indonesia. Namun, regenerasi petani yang lambat hingga memburuknya kualitas tanah Dieng juga membawa kepelikan terhadap kondisi Dieng saat ini.

Ah, semoga segala usaha baik masyarakat Dieng berbuah baik juga bagi keberlangsungan hidup di dataran ini. Semoga….

Penulis: Yosi Basuki

Booking on :