Kenapa Dinamakan Batu Ratapan Angin?

Sudah tahu ‘kan, kalau di akun Instagram Tani Jiwo, tuh, sekali memperlihatkan pesona Batu Ratapan Angin?

Siapa yang sudah pernah berkunjung ke sini?

Kurang lebih tujuh tahun sebelumnya, lokasi ini dibuka untuk wisata umum. Dari puncak gugusan batu-batu ini, kita dapat menyaksikan Telaga Warna, Telaga Pengilon, perkampungan dan kebun warga Dieng, dengan latar belakang Gunung Prau dalam satu frame. Semenjak dibuka, banyak orang yang datang dan penasaran dengan pemandangan yang ditawarkan dari puncak batuan ini. Hingga hari ini, objek wisata Batu Ratapan Angin menjadi destinasi yang wajib dikunjungi kala ke Dieng. 

Untuk itu, pengelola terus memperbaiki fasilitas yang mendukung wisatawan berkunjung kemari. Selain perbaikan fasilitas umum seperti area parkir, letak loket masuk, toilet dan musala, pengelolanya juga menyediakan tangga yang aman menuju spot foto terbaik. Sebagian besar tangga yang disediakan memang sengaja dibentuk sedemikian rupa agar tidak merusak bentuk asli dari gugusan batuan di sini.

Sebelumnya, lokasi ini hanya diketahui oleh segelintir orang yang berkunjung ke Dieng Plateau Theatre. Bahkan, warga Dieng sendiri belum banyak yang mengetahui potensi wisata dari susunan batuan alam ini. Letaknya yang berada tepat di atas Dieng Plateau Theatre ini cukup menggelitik rasa penasaran mayoritas wisatawan yang berkunjung. Untungnya, pengelola cepat tanggap pada rasa penasaran ini, maka dibukalah Batu Ratapan Angin sebagai destinasi wisata baru di Dieng.

Untuk sampai ke objek wisata Batu Ratapan Angin, pengunjung cukup menyusuri jalan utama Dieng menuju Telaga Warna dan Bukit Sikunir. Setelah melewati Telaga Warna, pengunjung akan menemukan pertigaan dan bisa langsung berbelok ke arah kiri untuk sampai ke lokasi Batu Ratapan Angin.

Lalu, kenapa gugusan batuan ini dinamakan “ratapan angin”?

Jika dilihat dari struktur geografisnya, gugusan batuan di atas Dieng Plateau Theatre ini memiliki celah-celah yang cukup banyak. Selain itu, rangkaian batuan yang ada di sini juga tidak sedikit dan memiliki ketinggian rata-rata 10–20 meter. Letaknya yang lebih tinggi dibandingkan bangunan dan bukit di sekitarnya, maka angin yang berhembus dari sini cukup kencang. Kurang lebih, deru angin di sini seperti berada di puncak gunung. Angin yang berhembus ini akan melewati celah-celah dari gugusan batuan dan menimbulkan suara melengking seperti ratapan.

Selain itu, terdapat legenda yang dipercaya masyarakat tentang bagaimana gugusan batuan ini terbentuk.

Dikisahkan, pada zaman dahulu, ada seorang pangeran yang sangat dihormati oleh rakyatnya karena kebijakan dan kesetiaannya. Sang pangeran memiliki istri yang cantik hingga kecantikannya tersebut memikat banyak lelaki.

Suatu ketika, sang istri terlena dan memiliki hubungan gelap dengan seorang pemuda di sebuah desa. Ternyata, hubungan mereka diketahui oleh sang pangeran. Merasa dikhianati, sang pangeran pun murka. Lalu, ia mengutuk istri dan kekasih gelapnya tersebut menjadi batu yang tertanam di puncak bukit tertinggi di wilayah kekuasaan sang pangeran. Setiap angin berhembus, terdengar suara ratapan dari batuan-batuan ini yang dapat terdengar oleh seluruh rakyat di wilayah tersebut. Ini menjadi tanda, bahwa barang siapa berkhianat, ia akan sengsara bahkan setelah menjadi batu sekalipun.

Unik ceritanya, ya?

Apakah kamu pernah mendengar ratapan angin dari celah-celah batu ini?

Booking on :