Seniman memiliki berjuta cara dalam mengekspresikan ide yang berputar di pikirannya. Cara-cara tersebut kadang sulit dimengerti oleh orang lain. Hingga pada akhirnya, sebuah karya diciptakan dan siapa pun bisa menikmati karyanya. Lalu, para penikmat karya dapat mengetahui keresahan atau pesan yang ingin disampaikan oleh sang seniman.
Dunia seni erat hubungannya dengan kepekaan psikologis dari sang seniman dalam menanggapi sebuah isu. Kepekaan ini menjadi sebuah pemicu munculnya karya-karya besar yang diciptakan. Meskipun banyak faktor lain yang mendukung bagaimana karya diciptakan, sisi kepekaan dari seniman membuat karya memiliki makna mendalam untuk disampaikan.
Menyadari sisi tersebut, Doni Singadikrama, seorang aktivis seni yang juga adik dari Bob Singadikrama, memutuskan untuk membuat program residensi di Tani Jiwo. Program ini mewadahi seniman Indonesia menginterpretasikan isu sekitar ke dalam sebuah karya.
Dalam program residensi yang pertama ini, isu yang diangkat terbilang cukup general. Para seniman diajak mengenal lingkungan di Dieng dengan pendekatan personal. Melalui pendekatan ini, seniman diberi kesempatan untuk mengungkapkan bagaimana kesan Dieng bagi mereka yang sebagian besarnya baru pertama kali datang.
Ini adalah cara lain yang ditempuh Doni Singadikrama untuk menyampaikan bagaimana Dieng di mata orang luar. Dibantu oleh Rahma Azizah sebagai rekan kerjanya, program ini berhasil mendatangkan seniman-seniman berbakat dari berbagai daerah di Indonesia. Tercatat ada 13 peserta baik perorangan maupun kelompok yang bergabung dalam program residensi edisi pertama ini.
Program residensi ini dirancang agar setiap seniman yang berkesempatan ke Dieng mendapatkan waktu efektif selama dua minggu untuk observasi dan riset. Kemudian, selepas masa riset tersebut, para seniman berkesempatan mengolah data hingga membuat karyanya dengan jangka waktu bervariasi. Total waktu program ini berjalan selama satu tahun hingga pameran hasil akhir dari karya mereka.
Untuk diketahui, Dieng adalah salah satu wilayah dataran tinggi di Jawa Tengah yang cukup terkenal dengan lanskap hijau dan kehidupan yang menenangkan. Jumlah wisatawan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan, apalagi saat diadakan Dieng Culture Festival. Acara tahunan ini memiliki dampak besar pada perkembangan pariwisata dan masyarakat, serta alamnya. Yang sedikit disadari, perilaku masyarakatnya banyak berubah karena mulai mengenal perkembangan teknologi dan industri layaknya yang terjadi di perkotaan besar.
Dari sisi bangunan, sudah banyak warga yang merenovasi rumahnya dengan desain arsitektur lebih modern. Begitu pun penginapan yang kini menjamur di wilayah Dieng. Para pengusaha penginapan lebih tertarik membuat penginapan dengan arsitektur yang banyak digandrungi anak muda masa kini. Objek-objek wisata juga mengalami beberapa kali revitalisasi agar pengunjung dapat merasa nyaman. Fasilitas umum lain juga banyak dibangun di sekitar Dieng, seperti mini market, bank, gerai ATM, area parkir, rest area, tempat makan, pom bensin, hingga berbagai bentuk fasilitas umum lainnya. Sekalipun memudahkan kebutuhan, ternyata keberadaannya mengubah perilaku masyarakat.
Dari segi budaya, baik itu ritual adat maupun kebiasaan masyarakat, sedikit demi sedikit terjadi perubahan menuju arah yang lebih modern. Sekalipun keberadaan pemangku adat masih diperhitungkan, perannya taklebih dari pemimpin upacara adat. Setidaknya, begitulah kondisi saat ini. Meskipun masih ada beberapa kelompok masyarakat yang menjaga kehormatan dan kedudukan pemangku adat, taksedikit pula yang memandangnya sebagai ‘pelengkap’ bagian masyarakat dan membuat hubungan yang transaksional.
Lain lagi dari sisi pertanian, sampah dari kegiatan pertanian, seperti karung pupuk, bungkus pestisida, dan bungkus-bungkus makanan lainnya masih banyak tersebar di sekitar lahan pertanian. Belum lagi, sebagian kelompok masyarakat merasa perlu meningkatkan hasil panen dengan obat-obat kimia pabrikan. Tanpa disadari, pola pertanian tersebut mengubah ketahanan tanah hingga menyebabkan penurunan kualitas hasil panen.
Lalu, hal ini menjadi berbanding terbalik dengan sisi barat laut Dieng. Daerah yang minim penduduk ini didominasi oleh rimbunnya pepohonan dan menjadi habitat asli untuk owa Jawa. Pemerintah daerah bersama lembaga dan komunitas terkait kelestarian flora fauna bersepakat membatasi ranah gerak masyarakat agar habitat tersebut tetap terjaga. Meskipun wilayah ini masih menerima pengunjung dari luar daerah, jumlah pengunjung dan aturan yang ditetapkan harus ditaati oleh siapa pun.
Fakta-fakta di lapangan tersebut ditemukan oleh para peserta residensi yang kemudian diolah menjadi karya. Masing-masing karya ini berhasil menunjukkan kehidupan di Dieng dan lekat dengan esensi budayanya.
Esensi tersebut berhasil disampaikan seniman melalui karya yang dipamerkan pada 27 Januari 2023 di Tani Jiwo. Para tamu undangan mendapat kesempatan mengikuti tur pameran dan menyimak cerita dari para seniman tentang karyanya. Pada kesempatan ini, hadir pula beberapa tokoh pegiat seni dari Yogyakarta dan membuka forum diskusi selepas pembukaan pameran.
Forum tersebut terbilang cukup santai dan akrab. Baik di antara pegiat seni yang hadir maupun senimannya saling bertukar pikiran dan pertanyaan yang kemudian memperkaya wawasan bagi para penyimak diskusi tersebut. Forum ini pun tak berhenti di situ saja. Selepas masa residensi, para seniman kembali memamerkan karyanya tentang Dieng di beberapa forum lain.
Sebagai contoh, kelompok seni Humatera dari Surabaya membuat sebuah film eksperimental berjudul Hamane Nangdi?. Karya ini tidak hanya ditujukan pada masyarakat Dieng melalui acara layar tancap saja. Beberapa forum diskusi seni di sekitar Surabaya, Yogyakarta, seputaran Jawa Tengah, seputaran Jawa Timur, hingga Banten menjadi tempat singgah karya ini. Begitu pun dengan seniman lain yang memperluas penyebaran karyanya.
Dengan begitu, karya mereka yang bercerita tentang Dieng dapat disampaikan kepada lebih banyak orang. Melalui cara ini pula, ada harapan agar gerakan pelestarian budaya dan lingkungan lebih gencar dilakukan di wilayah ini. Semuanya bertujuan untuk tidak melepas akar kehidupan yang telah tertanam di Dieng.