Di Balik Buku Dieng: Sebelum Matahari Terbit

“Wah, gila, ya! Dieng yang semaju ini tidak ada yang mendokumentasikan dalam bentuk tulisan lagi setelah Junghuhn,” ujar Doni Singadikrama, salah satu teman kami, sore itu.

Membicarakan Dieng, topik yang dibahas seperti tidak ada habisnya. Mulai dari sejarah, letak geografis, kebudayaan, pertanian, hingga dinamika masyarakat Dieng. Seolah, setiap topik itu terus bersambung-sambung dengan gema yang takhenti.

Dieng mungkin hanya sehampar pegunungan di tengah Pulau Jawa yang menjanjikan pemandangan hijau memanjakan mata bagi sebagian orang. Dieng menjadi tempat berlibur dan melepas penat setelah kehidupan penuh tekanan industri di kota. Dieng menjadi tempat pelarian dari aturan-aturan sosial di kota. Wisatawan datang menikmati keindahan alam yang ada barang sehari hingga tiga hari sebelum kembali ke rutinitas mereka.

Namun, Dieng ditinggali berbagai kelompok masyarakat dengan segala pergulatan tentang kelas sosial hingga ekonomi. Di atas wilayah berbukit-bukit ini, ada berbagai macam manusia yang berusaha mempertahankan hidupnya dengan segala usaha yang dikerjakan. 

Ada yang tetap bertani kentang, ada yang merantau ke luar Dieng untuk sekolah dan bekerja, ada yang menikah dengan warga sekitar serta berjualan makanan, ada juga yang mengusahakan kelestarian alam melalui kampanye sadar lingkungan hingga pembatasan area. 

Selain itu, ada juga yang menjadikan Dieng sebagai destinasi perantauan untuk kerja. Ada pula yang berusaha meneruskan adat dan ritus lokal sekalipun dipaksa ‘mengomersialisasikan’ usahanya oleh kelompok masyarakat yang lain. Belum lagi isu kerusakan lingkungan yang dianggap wajar oleh masyarakatnya. 

Meskipun banyak ruang hijau, nyatanya kasus banjir masih sering terjadi. 

Kasus kekurangan persediaan air juga berulang kali muncul. Namun, porsi masyarakat yang menganggapnya masalah besar tidak sebanyak yang mewajarkan kasus tersebut. Seolah, kasus tersebut tidak ada pengaruhnya dalam hidup mereka. 

Kurangnya literasi yang membahas tentang Dieng masa kini menjadi salah satu faktor masyarakat seolah tutup mata dengan permasalahan di sekitar mereka. Di antara banyaknya dinamika yang terjadi pada masyarakat Dieng ini, rasanya egois jika tidak mencari akar permasalahannya.

Maka, memberikan literasi terkini soal Dieng hanyalah secuil cara yang bisa dilakukan. Bob Maulana, pemilik Tani Jiwo, bekerja sama dengan Doni Singadikrama dan Shinta Dewi memutuskan untuk mulai membuat kelas menulis, yang diikuti sembilan pemuda pemudi sekitar Dieng. Upaya ini sebagai tindak lanjut menghidupkan kelas srawung, program bulanan Tani Jiwo periode 2019–2021, dengan durasi lebih lama dan pembahasan yang lebih dekat dengan masyarakat Dieng. 

Doni Singadikrama adalah seorang aktivis seni yang sejak tahun 2020 berdomisili di Wonosobo. Perhatiannya cukup jeli karena menemukan kurangnya literasi tentang Dieng ketika membaur dengan warga sekitar. Shinta Dewi adalah rekan kerja Bob Maulana di Tani Jiwo periode 2018–2021 yang mampu mengumpulkan anak muda sekitar Dieng dengan ketertarikan menulis. Ketiganya bersepakat menggunakan Tani Jiwo sebagai tempat berkumpul dan dilangsungkannya kelas menulis dengan dua mentor dari Yogyakarta, Rifai Asyhar dan Patrick Manurung.

Selama masa bimbingan, para pemuda ini dibebaskan mengambil tema tulisan apapun yang berkaitan dengan Dieng. Tema-tema itu, kemudian, menjadi sebuah jalan cerita yang saling berkesinambungan mengingat banyaknya realitas yang terjadi di Dieng. Annisa Putri Desihana membahas tentang pertanian kentang. Lalu, Fuad Khasbiantoro membahas tentang petani kentang yang berambut gimbal. 

Lalu, Yosi Basuki membahas tentang legenda rambut gimbal dan perlengkapan ritual adatnya. Dhimas Ferdhiyanto membahas tentang ritual adat. Sementara, Doni Singadikrama turut terlibat sebagai penulis dengan membahas fauna di Dieng, khususnya kijang. Ali Zaenal Abidin membahas tentang keadaan alam Gunung Prau. Agas Nugroho membahas tentang salah satu objek wisata di Dieng. Jourdan Abdullah membahas tentang sampah yang masih dibuang warga di sungai. Shinta Dewi juga menyumbangkan tulisannya dengan membahas dinamika Dieng yang dipenuhi manusia. Nama-nama tersebut adalah para penulis dalam buku Dieng: Sebelum Matahari Terbit

Dieng tidak hanya menjanjikan keindahan yang memanjakan mata. Di balik semua keindahan itu, terdapat permasalahan yang hampir tidak pernah diperlihatkan sehingga membuat masyarakatnya lalai dan tidak peduli dengan lingkungannya. Padahal, masalah tersebut sudah membesar dan cukup mengganggu kesejahteraan hidup di sini. 

Menyebarluaskan buku Dieng: Sebelum Matahari Terbit menjadi salah satu upaya menyadarkan masyarakat Dieng bagaimana keadaan lingkungan tempat mereka tinggal. Harapannya, agar seluruh aspek masyarakat Dieng mulai berkontribusi dalam hal yang paling sederhana untuk menjaga lingkungannya. Mengembalikan ruang hijau yang berkelanjutan untuk generasi selanjutnya. Tentu, setelah diterbitkannya buku ini, seluruh aspek yang terlibat mengadakan diskusi rutin setiap bulannya untuk bersama-sama menanggulangi masalah lingkungan dan sosial yang terjadi.

Upaya memperbaiki kondisi alam dan lingkungan sosial di Dieng sedikit demi sedikit makin menjadi bagian dalam masyarakat. Meskipun buku ini telah terbit di tahun 2021 lalu, semoga saja gemanya tak berhenti sampai situ saja. Semoga makin banyak masyarakat yang mau terlibat agar Dieng tetap hidup untuk ratusan generasi selanjutnya. Semoga…

Penulis: Yosi Basuki

Booking on :