Baritan, Tradisi Tolak Bala Masyarakat Dieng

Hai traveler!

Teruntuk kamu yang suka dengan hal-hal berbau budaya, sepertinya Dieng bisa menyita perhatianmu. Saat ini, bagi para wisatawan, tradisi ruwatan rambut gembel sepertinya masih jadi magnet utama jika berbicara tentang budaya masyarakat Dieng. Pemotongan rambut gembel anak-anak di Dieng dengan segala prosesi adatnya memang unik dan menarik. 

Namun, Dieng tidak hanya punya tradisi ruwatan anak berambut gembel. Bertepatan dengan bulan Muharam atau bulan Sura dalam kalender Jawa. Masyarakat di Dieng memiliki sebuah tradisi yang sangat menarik namanya baritan. Nama baritan sendiri berasal dari tembung cangkriman atau singkatan dari “mbubarake peri lan setan”, yang berarti membubarkan roh halus dan setan. Tradisi ini dimaksudkan sebagai upaya tolak bala agar tanah Dieng serta masyarakat yang tinggal di sini terhindar dari segala bahaya. 

Baritan : Tradisi Tolak Bala Masyarakat Dieng

Masyarakat Desa Dieng Kulon di Kabupaten Banjarnegara masih melestarikan tradisi baritan hingga saat ini. Tradisi ini telah berjalan ratusan tahun. “Baritan ini sudah dilakukan dari dulu, dari saya kecil sudah ada Pernah dulu berhenti selama 3 tahun, lalu gunung prahu merekah sampai 100 meter panjangnya, ujar Mbah Manto, Pemangku Desa Dieng. Hal yang sama juga diutarakan oleh Mbah Sulhani, pemangku adat perempuan berusia 100 tahun lebih. Beliau mengatakan bahwa baritan adalah ritual meruwat bumi. “Semacam ruwat bumi, Baritan itu bentuk permohonan kepada Tuhan untuk keselamatan alam semesta serta makhluk yang tinggal di dalamnya, maka harus tetap diusahakan bagaimanapun sulitnya.”

Saat pandemi covid-19 pun, para pemangku adat tetap mengupayakan tradisi ini berjalan. Walau banyak kendala dan dilaksanakan dalam jumlah terbatas, baritan tetap dilaksanakan.

Baritan : Tradisi Tolak Bala Masyarakat Dieng

Tradisi baritan dilaksanakan pada Jumat Pungkasan atau hari Jumat terakhir dalam bulan Sura. Tradisi ini dimulai pada malam Jumat dengan prosesi nglanglang bhuwana. Masyarakat Dieng akan berkumpul di sekitar Kompleks Candi Dwarawati. Lalu, berjalan membawa obor mengelilingi desa. 

Hari Jumat pagi, para pemangku adat laki-laki beserta masyarakat sudah bersiap untuk menyembelih seekor mendo kendit. Mendo kendit merupakan istilah bagi kambing yang pada bagian perutnya memiliki garis warna yang melingkari perut, menyerupai kendit atau sabuk. Setelah disembelih kaki, kepala serta badan kambing dipisahkan.

Prosesi selanjutnya adalah penanaman sesaji, para pemangku adat mengambil bagian kepala serta keempat kaki kambing, selanjutnya keempat kaki kambing akan ditanam atau dikubur. Tempat penguburannya ini merupakan 4 pojok atau sudut batas desa. Selanjutnya, kepala kambing akan ditanam di tengah-tengah desa. Prosesi ini memiliki makna membuat benteng dengan doa agar masyarakat desa diberi keselamatan.

Baritan : Tradisi Tolak Bala Masyarakat Dieng

Jika keempat kaki serta kepala kambing ditanam, badan kambing yang dipisahkan tadi dimasak oleh masyarakat. Selain itu terdapat sesaji lain yang disiapkan, seperti tumpeng, sayur, beragam teh, pisang raja, serta aneka jajanan pasar. Seluruh masakan dan sesaji selanjutnya dibawa ke tengah desa atau biasanya di depan rumah pemangku adat. Selanjutnya, seluruh makanan dan sesaji didoakan dan dimakan bersama-sama.

Baritan merupakan sebuah tradisi yang mengajarkan kita bahwa manusia tidak hidup sendiri di muka bumi, melainkan juga perlu bersinergi dengan alam serta Tuhannya agar tercapai keselamatan baik raga ataupun batin.

Jika kalian ingin menyaksikan tradisi ini, kalian bisa datang langsung ke Desa Dieng Kulon pada Jumat terakhir di bulan Muharam setiap tahunya.

Artikel ini disadur dari dieng.travel pada 10 Desember 2022

Baca artikel lengkapnya di https://dieng.travel/baritan-tradisi-tolak-bala-masyarakat-dieng/

Penyadur: Yosi Basuki

Booking on :