Arogansi Wisata Membunuh Tempat Wisata

Rasa-rasanya, judul artikel ini terlalu horor untuk dibaca secara umum. Namun, bukan tanpa alasan judul ini muncul. Sebagai salah satu penyedia jasa wisata di Dieng, kami sering menemui perilaku unik dari wisatawan.

Entah bagaimana dan dari mana semua ini bermula. Penyedia jasa wisata di lapangan memang bertugas mengenalkan objek wisata. Di saat yang bersamaan, kami juga bertugas menyanjung wisatawan yang menggunakan jasa kami. Sanjungan ini adalah bentuk penghargaan atas kepercayaan mereka terhadap pekerjaan kami. Namun, rasanya timbal balik yang diberikan tidak sesuai harapan kami.

Sebagai penyedia jasa wisata, memang kami tak bisa membenarkan diri. Kalau kata guru kami, “manusia adalah tempatnya salah.”

Bisa jadi ini, memang salah kami, yang belum mampu menjelaskan wisata di sini secara jelas dan lugas. Namun, bisa juga ini salah wisatawan, yang termakan arogansi karena merasa telah membayar sebuah jasa wisata.

Baiklah, ini bukan tentang siapa benar dan siapa yang salah. Akan tetapi, ini cukup menggelitik etika bersosial pada era modern.

Hidup di wilayah pariwisata dengan animo wisata tertinggi kelima di Jawa Tengah memang membuat masyarakat Dieng cukup familier dengan keberadaan wisatawan yang datang silih berganti. Ini juga menjadi pemicu ekonomi masyarakat yang meningkat dari tahun ke tahun. Seharusnya, rasa terima kasih masyarakat Dieng pantas ditujukan oleh konglomerat Belanda yang dahulu membuka wilayah ini sebagai destinasi wisata.

Tidak sedikit masyarakat di sini yang beralih profesi dari petani menjadi penyedia jasa penginapan. Takjarang pula generasi muda di Dieng memiliki dua pekerjaan, sebagai petani sekaligus pemandu wisata. Bahkan, menjadi pemandu wisata berlisensi resmi.

Animo wisata yang terus meningkat sepanjang tahun membuat Dieng seolah tidak pernah sepi wisatawan. Objek-objek wisata baru bermunculan, objek wisata lama terus diperbaharui fasilitasnya, penduduk sekitar pun terus memperbaiki fasilitas pendukung wisata yang ada.

Namun, rasanya edukasi tentang pariwisata dan mitigasinya belum benar-benar dipahami oleh masyarakat. Kemajuan teknologi yang tidak pernah berhenti hingga kini memaksa kami menyesuaikan diri, meskipun ilmu kami belum memadai. Akibatnya, ada beberapa hal berikut yang akhirnya membuat kami prihatin. Terutama pada kondisi objek wisata di Dieng.

  1. Gangsiran Aswatama dijadikan tempat sampah

Kembali ke beberapa puluh tahun lalu, Gangsiran Aswatama merupakan salah satu tempat wisata yang kerap dikunjungi. Wilayah ini dikelilingi taman bunga yang subur, terdapat susunan paving di sekitar gangsiran untuk akses jalan pengunjung, terdapat pagar pembatas agar pengunjung tidak jatuh di lubang gangsiran.

Gangsiran Aswatama adalah lubang menuju bawah tanah yang disinyalir dibangun kala perang Baratayudha. Lubang ini berjumlah 9 buah dengan jarak yang membentuk garis lurus ke arah Kabupaten Batang dan hanya 4 di antaranya yang masih tampak. Dua di antara yang tampak tersebut sudah diberi pembatas, sedangkan dua lainnya tertutup semak. Kamu bisa menemukan lokasi gangsiran ini tepat di seberang monumen Dieng Banjarnegara. Ada sumber lain menyebutkan, gangsiran ini dibangun sebagai jalur irigasi sebelum dibangun kompleks Candi Arjuna. Lima lubang lain yang taktampak lagi kini sudah tertutup oleh bangunan.

Saat dibangun pagar pembatas di sekitar lubang gangsiran ini, di dalam lubangnya masih terdapat air bersih. Beberapa masyarakat sempat mengira ini adalah sumur. Tapi, entah sejak kapan, mulai ditemukan sampah-sampah di dalam lubang gangsiran. Mulai dari sampah bungkus pupuk, sampah rumah tangga, hingga sampah konsumsi wisata.

Padahal, di sekitar pagar pembatas sudah ada imbauan “Dilarang Buang Sampah di Lubang Gangsiran”. Lucunya, pada akhir tahun 2023 ini, tulisan tersebut tiba-tiba raib seiring raibnya sampah-sampah di dalam lubang gangsiran. Jika kalian berpikir, semua sudah aman, kalian salah menduga.

Seperti yang dikhawatirkan, tepat di pertengahan tahun 2024, sampah di lubang gangsiran ini muncul lagi dengan jenis sampah yang sama. 

Mengejutkan? Ya, lumayan.

Apakah imbauan tersebut bagai sebuah perintah untuk membuang sampah di lubang gangsiran?

  1. Burung hantu adalah hewan nokturnal yang aktif di malam hari, bukan atraksi wisata siang hari

Jika kalian pernah menyaksikan burung hantu di channel National Geographic, kalian tentu paham bahwa hewan bersayap ini adalah makhluk yang hidupnya aktif di malam hari, yang kemudian dikenal dengan sebutan hewan nokturnal.

Namun, beberapa tempat wisata yang ditemui di Dieng, kalian mungkin akan terkejut bahwa burung hantu ada di tempat ini dan dipaksa ‘begadang’ saat pagi hingga sore hari. Hanya untuk sebuah foto berbayar.

Dikutip dari situs web Total Tails, burung hantu memiliki mata berbentuk tabung seperti teropong, sehingga akan berfungsi maksimal ketika minim cahaya di sekitarnya. Maka dari itu, burung hantu dapat beraktivitas penuh di malam hari. Sementara di siang hari, burung hantu akan beristirahat atau tidur.

Apa yang terjadi jika burung hantu dipaksa beraktivitas di siang hari?

Ada dua kemungkinan. Pertama, ia terancam sehingga mengharuskan diri terbang mencari perlindungan di siang hari. Kedua, ada unsur pemaksaan di luar fisik burung hantu tersebut yang dapat mengakibatkan burung hantu buta, stres, dan mati.

Untuk menambah keresahan, populasi burung hantu di Indonesia saat ini terancam punah.

Lucu, ‘kan?

  1. Terbiasa menginjak batuan candi untuk berfoto

Sebagai pengagum sejarah atau sebagai penanda bahwa seseorang pernah sampai di sebuah tempat wisata heritage, berfoto di sekitar candi adalah keharusan. Bangunan purbakala yang ada di seluruh penjuru Pulau Jawa ini adalah bukti peradaban yang bertahan selama ratusan tahun.

Namun, apakah berfoto di sekitar candi artinya menginjak susunan batuan ini? Ya, tentu saja tidak!

Di beberapa situs candi, terdapat pagar pembatas pengunjung yang sengaja dibangun pengelola agar candi dapat terjaga keutuhannya. Pengelola menyadari betul bahwa makin banyak interaksi manusia pada bagian-bagian candi akan berakibat pada pelapukan batuannya.

Zaman sekolah dulu, di mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dijelaskan bahwa batuan dapat mengalami pelapukan. Salah satu faktor pelapukan batuan adalah interaksi dengan manusia, yang disebut sebagai pelapukan biologi atau organik.

Pernah melihat batuan rata yang sering terinjak kaki manusia, lalu permukaan batuan tersebut menjadi cekung? Itulah contoh pelapukan batuan.

Dan kita sedang berbicara batuan candi. Susunan batuan yang membentuk bangunan purbakala ini sudah beratus-ratus tahun berdiri. Ada lembaga resmi yang berusaha menjaga keutuhan batuan candi ini dan salah satu dari kalian berwisata ke candi lalu foto dengan menginjak salah satu batuannya?

Bukankah hal tersebut tidak bijak dilakukan?

  1. Batas vegetasi ladang dan hutan kian memudar

Dieng dikenal karena lanskap hijau yang membentang luas. Wilayah pemukiman di ketinggian 1.600–2.100 mdpl ini dikelilingi gunung dan bukit dengan hutan yang lebat. Dahulu.

Sekarang, beberapa bukit kecil di sekitar Dieng sudah berubah menjadi ladang pertanian dan penginapan yang menjual “pemandangan terindah di Dieng”.

Ini bukan tentang persaingan bisnis, tetapi menjual pemandangan Dieng rasanya jadi gimik wisata yang perlu ditinggalkan, karena keadaan alam di Dieng saat ini tidak lagi semenarik dahulu. Bahkan di badan Gunung Prau saja sudah tampak beberapa titik perkebunan warga. Gunung yang menjadi salah satu dari seven summit Jawa Tengah ini memiliki sisi barat yang terbilang ‘gundul’.

Beberapa satwa liar, seperti macan, babi hutan, lutung, beberapa jenis burung sudah sangat sedikit di pusat area wisata Dieng. Habitat asli mereka sudah diubah jadi ladang pertanian dan pendukung wisata.

Mungkin ini terkesan berlebihan, tetapi setiap tahun ada lahan baru yang dibuka di Dieng. Bisa jadi untuk ladang pertanian, area penginapan, bahkan pembukaan jalan baru kendaraan. Tidak heran, hampir setiap hari di Dieng akan ditemukan kendaraan angkutan berat yang membawa material.

Tahun 2022 lalu sempat terjadi perseteruan di salah satu desa di Dieng karena perebutan sumber air bersih. Perseteruan yang sedikit lucu, karena hutan di sekitar mata air sengaja dibuka untuk lahan pertanian oleh warga. Bukannya dijaga batasnya agar tidak kekurangan air bersih.

Jika salah satu dari kalian mendaki gunung di Dieng, kalian akan menikmati pemandangan lahan pertanian warga dan penginapan dekat batas vegetasi, hampir mendekati puncak gunung yang dituju. Inikah yang membuat wisatawan tertarik? Yakin?

  1. Minimnya tempat sampah di titik-titik vital

Di mana kami dapat mencontoh area wisata yang memiliki tempat sampah di berbagai titik vital?

Karena mungkin inilah yang dapat mengatasi sampah berserakan di jalanan. Jika ada pun, tempat sampah yang sudah tersedia di area wisata, sayangnya tidak berfungsi semestinya karena rusak.

Apakah tempat sampah yang kami butuhkan atau edukasi tentang cara membuang sampah yang benar? Rasanya ini jadi hal yang samar perbedaannya. Hingga saat ini, sampah yang dibuang sembarangan masih dapat dengan mudah ditemui. Meskipun di sekitar area tersebut sudah ada tempat sampah.

Tidak perlu muluk-muluk dengan edukasi pemilahan sampah, jika buang sampah di tempatnya pun masih jadi hal berat untuk dilakukan.

  1. Tiket terusan bertumpuk, wisatawan pun kapok

Apa yang membuat kalian tidak mau berkunjung ke Dieng? Tiket terusan yang bertumpuk. Tepat sekali.

Dilansir dari situs web Dinas Pariwisata Kabupaten Wonosobo, data pengunjung ke Dieng berkurang tiap tahunnya sekitar 2–5%. Rata-rata lama tinggal wisatawan di Dieng hanya satu hari. Ini adalah angka yang cukup kecil untuk wilayah wisata. Bisa dibayangkan bagaimana setiap penginapan di Dieng saling bersaing di pasar yang sangat kecil.

Sebagian besar tamu kami mengeluhkan tiket masuk wisata terusan yang harus dibayarkan sebanyak dua kali. Buat apa uangnya?

Tahukah mereka bahwa sistem inilah yang membuat wisatawan kapok datang ke Dieng? Bahkan taksedikit masyarakatnya sendiri merasa ini adalah pungli berbalut kedinasan. Apa program ini dibuat dengan kesengajaan? Entahlah. 

Masalah ini begitu pelik dan saling berkaitan satu dengan lainnya. Di satu sisi, kami penyedia jasa pariwisata masih terus menjual pemandangan Dieng yang sejatinya tidak lagi asri.

Kami tidak tahu siapa yang patut bertanggung jawab atas segala kerusakan ini, atau siapa yang patut disalahkan karena perkembangan yang seperti ini. Ini bukan timbal balik yang kami harapkan dari kegiatan menyediakan jasa pariwisata.

Tidak dipungkiri, sudah ratusan pelatihan wisata yang diadakan pemerintah kami ikuti. Namun, rasanya arogansi wisata takkunjung surut sedangkan hidup kami di wilayah wisata ini makin pelik.

Semoga makin bertambah tahun, ada perbaikan yang dapat kami rasakan.

Booking on :