Anak Bajang di Dieng

Berbicara tentang Dieng, lagi-lagi, tidak hanya tentang wisata alamnya saja. Terdapat satu ritual adat yang begitu terkenal hingga mancanegara, yaitu ruwat rambut gimbal. Ruwat secara harfiah dipahami sebagai rangkaian ritual upacara pembebasan seseorang dari hukuman atau kutukan. Sedikit berbeda dengan ruwat rambut gimbal yang dimaknai lebih positif oleh kepercayaan masyarakat Dieng.

Rambut gimbal dimaknai sebagai bentuk malapetaka yang berhasil terjerat dalam uliran helai rambut yang menggumpal di kepala seorang anak. Lalu, sang anak adalah prajurit-prajurit titisan Kiai Kolodete yang berperang melawan kejahatan yang berniat menghancurkan tanah Dieng. Rambut gimbal ini perlu dipotong dan dikembalikan kepada Sang Pencipta melalui proses larung. Proses pemotongan rambut gimbal hingga melarung ini perlu disertai doa-doa khusus agar sang anak tidak tertimpa malapetaka. Oleh karenanya, dibentuklah sebuah ritual ruwat rambut gimbal.

Ritual ini sebenarnya bisa dilakukan kapan pun ketika sang anak sudah meminta kepada orang tuanya. Namun, sekitar tahun 2010, masyarakat Dieng mencoba meringankan biaya ruwat yang tidak sedikit tersebut melalui festival budaya tahunan bernama Dieng Culture Festival. Festival ini tidak hanya berisi ritual adat, tetapi juga didukung pertunjukkan kesenian daerah dan pertunjukan musik dari musisi-musisi nasional. Siapa pun bisa menikmati sajian budaya dalam festival ini dengan HTM, yang nantinya digunakan untuk pembiayaan ruwat dan segala kebutuhannya dari sejumlah anak gimbal terdaftar.

Melalui festival ini, ritual adat dan keberadaan anak gimbal di Dieng menjadi makin dikenal masyarakat luas. Tidak sedikit pula wisatawan dari mancanegara yang berkunjung ke Dieng untuk menyaksikan prosesi ritual adat ini. Tentu, tidak hanya sajian kebudayaan dalam Dieng Culture Festival yang bisa dinikmati, tetapi juga bentang alam dan berbagai objek wisata sekitar Dieng.

Menjadi anak gimbal, atau sering juga disebut anak bajang, di Dieng memiliki keistimewaan tersendiri. Baik di mata masyarakat sekitar ataupun oleh para wisatawan. Sejatinya, anak bajang tak berbeda jauh dari anak pada umumnya di Dieng. Pembedanya hanya rambut anak bajang lebih panjang dan memiliki gimbal daripada anak lainnya. Menurut penuturan Mbah Manto, salah seorang pemangku adat di Dieng, anak bajang jauh lebih tahan terhadap perubahan cuaca ekstrem dan berbagai penyakit.

“Bocahe ya luwih bregas. Liyane mengguk, deweke egen playon bae,” yang artinya, “anaknya (anak bajang) lebih sehat. (anak) lainnya (mudah) sakit, mereka (anak bajang) masih bisa lari-larian (bermain dengan lincah),” ujar Mbah Manto mendeskripsikan anak bajang.

Namun, secara emosional, anak bajang jauh lebih sensitif.

“Nek lagi seneng ya seneng banget, nek lagi kelaran ya rewele ra umum. Mulane cok ana sek nganti kurang,” lanjut Mbah Manto dengan gestur jari telunjuknya mengacung di depan dahi. Artinya, “Kalau (anak bajang) sedang bahagia ya bahagia sekali, kalau (anak bajang) sedang (merasa) tersakiti ya rewel sejadi-jadinya. Makanya, terkadang ada (anak bajang) yang kurang (sehat atau bermasalah secara kejiwaan).”

Tidak hanya secara fisik dan psikologisnya yang istimewa. Di lingkungan tempat tinggalnya, anak bajang diperbolehkan memanjangkan rambut tanpa dikenai sanksi oleh sekolah. Bahkan, kenakalan anak bajang dimaklumi oleh warga sekitar karena statusnya yang istimewa. Dengan catatan, selama anak bajang ini belum diruwat.

Rambut gimbal pada anak bajang ini umumnya ada pada anak Dieng berusia 1 hingga 9 tahun. Munculnya rambut gimbal pada anak ‘utusan’ ini diawali dengan demam tinggi selama seminggu atau lebih. Uniknya, dokter-dokter yang pernah menangani anak bajang ini tidak menemukan gejala penyakit apapun. Sehingga obat-obatan yang diberikan hanya obat generik penurun panas. Lalu, saat sang anak sudah reda demamnya, akan muncul gumpalan gimbal di rambutnya secara acak.

Tidak jarang, anak bajang ini enggan diruwat hingga umurnya beranjak dewasa. Ada pula anak bajang yang sudah berkeluarga hingga usianya mencapai 45 tahun. Masyarakat Dieng percaya, keinginan diruwat tersebut tidak dapat dipaksakan jika bukan kehendak dari si anak sendiri.

Selain itu, di antara banyaknya anak bajang di Dieng, belum ada temuan yang menunjukkan mereka semua bersaudara. Bahkan, ada juga anak bajang yang tinggal di luar kawasan Dieng. Yang dapat disimpulkan, semua anak ini sama-sama memiliki garis keturunan asli Dieng.

Kemunculannya yang unik dan acak inilah membuat anak bajang begitu istimewa bagi masyarakat Dieng. Takkalah menarik, sejarah dan legenda yang menyelimuti kemunculan anak bajang ini juga istimewa.

Diceritakan jauh sebelum peradaban di Dieng modern ini, pemukiman warga dikelilingi oleh tanah subur berkelimpahan yang mampu mencukupi kehidupan setiap manusianya. Tanah yang netral dari kepemimpinan raja-raja kala itu menjadi tempat suci dan tempat belajar bagi beberapa resi. 

Dieng digambarkan sebagai tanah yang memiliki kesejahteraan yang tak berkesudahan. Kesejahteraan itu merupakan anugerah Sang Pencipta, tetapi rawan dikuasai oleh pemimpin yang licik. Lalu, ada sosok orang sakti bernama Kiai Kolodete yang diutus oleh Nyai Roro Kidul untuk menjaga tanah Dieng dari malapetaka. Kiai Kolodete menjaga tanah Dieng bersama istrinya, Nyai Roro Ronce.

Pada suatu masa, Kiai Kolodete dan Nyai Roro Ronce harus beranjak dari Dieng. Namun, penjagaannya tidak berakhir sampai di situ saja. Sebagai penanda penjagaannya masih terus berlangsung, Kiai Kolodete mengutus beberapa anak kecil di Dieng sebagai prajuritnya dan memberi rambut gimbal. Rambut ini sebagai bentuk malapetaka yang terjerat. Suatu ketika, rambut gimbal ini harus dipotong dan dilarung dari sumber mata air yang langsung menuju ke perairan Selatan. Proses pemotongannya harus disertai doa dan sajian hasil bumi yang dikumpulkan oleh warga. Ini adalah bentuk syukur dan ucapan terima kasih warga pada penjagaan Kiai Kolodete atas segala malapetaka. Orang tua dari si anak bajang pun harus menuruti apa tepatnya permintaan sang anak tanpa melebihkan atau mengurangi permintaan tersebut. Ini dipercaya sebagai ujub yang diminta langsung oleh Kiai Kolodete melalui sang anak bajang.

Pelarungan menuju perairan Selatan ini ditujukan agar potongan rambut gimbal kembali pada Nyai Roro Kidul dan dapat diubah menjadi kesejahteraan bagi masyarakat Dieng.

Legenda ini dipercaya turun-temurun oleh masyarakat Dieng, selama masih ditemukan anak bajang di wilayah Dieng. Keberadaan anak bajang itu juga menandakan wilayah Dieng masih tetap suci dan sakral.

Meskipun saat ini Dieng sudah berkembang lebih modern, ritual adat tetap dilakukan oleh masyarakat Dieng agar tetap terjaga kesakralannya. Sehingga tidak sembarang orang dapat bermukim di Dieng, jika bukan utusan dari Sang Pencipta.

Kepercayaan inilah yang membuat Dieng begitu istimewa. Apakah kamu tertarik mengenal anak bajang di Dieng?

Penulis: Yosi Basuki

Booking on :